Mediasi Tanah "Amburadul" di Botto, Korban Alami Intimidasi hingga Lambannya Penanganan Polisi


SOPPENG – Sengketa tanah di kawasan Bila Tungke, Kelurahan Botto, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, kini menjadi sorotan publik. Kasus yang bermula dari klaim sepihak atas lahan perkebunan ini dinilai sarat kejanggalan, mulai dari proses mediasi di tingkat kelurahan yang dianggap "amburadul" hingga adanya dugaan intimidasi berupa perusakan properti milik warga.

​Kronologi Penguasaan Lahan

​Berdasarkan penelusuran di lapangan, lahan yang menjadi objek sengketa tersebut telah dikuasai secara turun-temurun oleh pihak penjual (ahli waris Laebu) sebelum dialihkan kepada pembeli, Abd Umar, pada tahun 2002.

​Dasar Kepemilikan: Transaksi dilakukan melalui surat pernyataan ganti rugi dengan batas-batas yang jelas ditunjuk oleh penjual.

​Dokumen: Objek pajak telah terdaftar dalam SPPT PBB sejak tahun 2016. Meskipun bukti Ipeda tahun 1971 atas nama Laebu hilang, penguasaan fisik lahan selama puluhan tahun tidak pernah dipermasalahkan oleh siapa pun.

​Konflik baru muncul pada tahun 2025, ketika nilai jual tanah di kawasan tersebut melonjak. Seorang warga yang memiliki kebun bersebelahan tiba-tiba mengklaim sebagian lahan milik Abd Umar, didukung oleh Ketua RT dan RW setempat.

​Mediasi Sepihak dan Intimidasi

​Pihak keluarga Abd Umar (diwakili istri, Nursiah) mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses mediasi yang difasilitasi oleh Pemerintah Kelurahan Botto. 

Mediasi yang telah digelar sebanyak tiga kali tersebut dinilai tidak netral.

​"Pihak Kelurahan Botto tiba-tiba membuat surat keterangan keputusan kemenangan sepihak untuk pelapor (penyerobot) agar kami tandatangani, tapi kami tolak tegas. Bagaimana mungkin Lurah memutuskan sepihak sementara penjual tanah tempat kami membeli masih hidup dan bisa bersaksi?" ungkap istri Abd Umar.

​Situasi semakin memanas ketika terjadi aksi teror dan perusakan di lokasi sengketa:

​Rumah istirahat milik korban di lokasi kebun diobrak-abrik.

​Tanaman produktif milik korban mati akibat disemprot racun oleh orang tak bertanggung jawab.

​Padahal, menurut pengakuan korban, selama ini mereka berbaik hati membiarkan warga sekitar masuk dan menggarap lahan tersebut untuk menambah penghasilan tanpa meminta bagi hasil.

​JPKP Soroti Kinerja Lurah dan Pertanyakan Polres Soppeng

​Ketua DPD Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Kabupaten Soppeng, Hamsyar, yang mendampingi korban (Nursiah), turut angkat bicara.

​Hamsyar telah mengonfirmasi masalah ini kepada Kepala Kelurahan Botto, H. Munadir, S.Sos. Dalam konfirmasinya, Lurah berdalih hanya bertindak sebagai saksi dan berencana memanggil pihak pertanahan karena menduga luas lahan tidak sesuai dengan PBB.

​Menanggapi hal tersebut, Hamsyar menegaskan:

​"PBB itu adalah Pajak Bumi dan Bangunan (administrasi pajak), bukan bukti kepemilikan hak (sertifikat). 

Selama ini pihak Agraria tidak pernah terlibat pengukuran untuk penerbitan PBB kecuali untuk pengajuan Sertifikat Hak Milik (SHM). Alasan Lurah ini terkesan dicari-cari."

​Selain itu, JPKP juga menyoroti lambannya kinerja penyidik Polres Soppeng. 

Laporan dugaan penyerobotan dan perusakan ini telah masuk sejak Oktober 2025, namun hingga berita ini diturunkan, pihak pelapor belum menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).

​Tuntutan Kepastian Hukum

​Pihak korban bersama JPKP mendesak agar:

​Polres Soppeng segera menerbitkan SP2HP dan menindak tegas pelaku penyerobotan serta perusakan properti guna memberikan kepastian hukum.

​Pemerintah Kabupaten Soppeng mengevaluasi proses mediasi di Kelurahan Botto yang dinilai tidak profesional dan merugikan masyarakat.

​Kasus ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum di Soppeng, apakah mampu melindungi hak warga yang telah memiliki bukti penguasaan fisik puluhan tahun, atau justru kalah oleh tekanan oknum-oknum tertentu.

​(Tim Redaksi)


Previous article
This Is The Newest Post
Next article

Leave Comments

Post a Comment

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel